Eksistensi Islam di
tengah-tengah komunitas masyarakat Aceh telah memberikan warna
tersendiri dalam sejarah perkembangan sosio-kultural bagi masyarakat
yang berada di propinsi ujung utara pulau Sumatera. Secara historis,
Aceh terdiri dari berbagai negara bagian kecil seperti Peureulak,
Samudra Pasai, Pidie dan Meureuhom Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh
adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah
bendera kekuasaan Aceh Darussalam (cikal bakal nama provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam pasca era reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh
empat ratu dan sultan-sultan berikutnya, kerajaan Aceh mengalami
kemunduran yang pada akhirnya saat Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh
memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[1]
Dalam perkembangannya, agama
Islam terus mengalami kemajuan dan begitu mengakar dalam masyarakat
melalui peran dan perjuangan para ulama. Hal ini dilakukan bersama
lembaga pendidikan yang dibangun, diasuh dan dibinanya, yakni Dayah.
Lembaga pendidikan ini di samping berperan sebagai tempat pembelajaran
dan mendidik kader ulama dan pemimpin Aceh secara berkesinambungan juga
berperan besar sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang banyak
memberikan jasa dan prakarsa bagi pemberdayaan masyarakat sekitarnya.
Ini terbukti bahwa tidak saja pada masa lampau, namun sampai saat ini
alumni dayah tidak hanya berperan sebagai pendidik tetapi juga sebagai tokoh panutan masyarakat.
B. Sejarah dan Pengertian Dayah
1. Sejarah Perkembangan Dayah
Lembaga pendidikan khas di Aceh disebut Dayah
merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai
pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah
institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan
hadirnya Islam di Nusantara.
Dalam sejarah bahwa Sultan
pertama di kerajaan Peureulak (840 M), meminta beberapa ulama dari
Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu
sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang
dipimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan
Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi
Islam pertama di kepulauan Nusantara.[2]
Berdirinya dayah tidak
diketahui secara pasti, salah satu hal yang menyebabkan susahnya
mengetahui kapan sebenarnya dayah masuk ke Aceh, disebabkan oleh masih
kurangnya penelitian dan perhatian yang mendalam terhadap dayah-dayah di
Aceh, tetapi hanya dibahas perkembangan dayah pada masa abad ke 19 M
hingga pertengahan abad ke 20 M.
Kalau didasarkan pada hasil
seminar yang diadakan pada tanggal 25-30 September 1980 di Rantau
Panyang Peureulak tentang masuknya dan berkembangkannya Islam di
Nusantara, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Peureulak sebagai kerajaan
tertua di dikawasan Aceh, maka Dayah Cot Kala merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Aceh bahkan di Asia Tenggara, menurut
kesimpulan seminar tersebut.[3] Berdasarkan lembaran-lembaran lepas dari naskah tua Izdharul Haq Fil Mamlakatil Peureulak, karangan Syeh Ishak Makarani Al-Pasi dan naskah Tajzirat Thabaqat Jam’u Salatin,
kerajaan Islam Peureulak didirikan pada tahun 225 H (840 M) dengan
rajanya yang pertama adalah sultan Alaiddin Saiyidi Maulana Abdul Aziz
Syah, kemudian Tgk Muhammad Amin Pendiri Dayah Cot Kala juga menjabat
sebagai Sultan Peureulak yang ke-enam yang bergelar Makdum Alaiddin Malik Muhammdah Amin Syah Johan Berdaulat.
Ini menunjukkan bahwa Dayah Cot Kala didirikan setidak-tidaknya pada
awal abad ke 10 M dengan pimpinan Tengku Muhammad Amin Syah Johan.[4]
Keberadaan Dayah pada masa penjajahan
Belanda mengalami kemunduran, ini karena seluruh Ulama Dayah dan
santrinya itu ikut berjuang melawan penjajah Belanda, sebagian besar
para Ulama dan Teungku dayah syahid di medan perang, di antaranya
Teungku Chik Haji Ismail anak Teungku Chik Pante Ya’kop (Pendiri Dayah
Tgk Chik Pante Gelima), beliau syahid dalam peperangan melawan Belanda
dalam mempertahankan Kuta Glee (Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen).
Faktor lain yang menghambat perkembangan
Dayah saat itu disebabkan karena Belanda melakukan upaya-upaya untuk
menghambat pendidikan Agama Islam, serta Belanda menyebarkan pendidikan
Barat di Aceh, sehingga menyebabkan Dayah terbengkalai. Selain itu,
Belanda melakukan pembakaran terhadap Dayah-dayah dan membunuh seluruh
staf pengajarnya serta membumihanguskan seluruh Perpustkaaan yang ada di
Dayah, jika ada dayah yang masih bertahan itupun dibangun di daerah
terisolir dan jauh dari pantauan Belanda.
Dayah mulai bangkit setelah proklamasi
kemerdekaan RI, perkembangan Dayah sudah menampakkan hasil yang cukup
baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah Darussalam Labuhan Haji
Aceh Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno, dan Dayah
dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai berkembangan,
sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari pemerintah
sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh Pimpinan
Dayah sendiri dengan bantuan swadaya masyarakat
2. Pengertian Dayah
Secara etimologi kata dayah diambil dari unsur bahasa Arab yaitu dari kata zawiyah artinya buju rumah atau buju mesjid.[5]
Buju rumah dimaksudkan dari pengertian ini adalah sudut atau pojok
rumah. Dikatakan sudut atau pojok rumah bahwa pada zaman Rasulullah
saw., pengajaran dan penerangan tentang ilmu-ilmu agama kepada sahabat
dan kaum muslimin sering beliau lakukan di sudut rumah atau di sudut
mesjidnya.
Setelah zaman Rasulullah saw., kata zawiyah telah berkembang luas ke seluruh pelosok dunia Islam sampai ke Asia Tenggara. Dari perjalanan sejarah yang panjang kata zawiyah telah mengalami perubahan dialek sesuai dengan kapasitas daerah masing-masing.
Di Aceh, kata zawiyah diucapkan
dengan sebutan dayah yang berarti tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Dulu, orang Aceh sering menggunakan sudut, pojok atau serambi rumah dan
mesjid untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Dilihat dari
persamaan makna dengan daerah lain di Pulau Jawa, dayah dapat
disetarakan dengan pesantren. Kendatipun demikian ada beberapa
perbedaan yang penting, di antaranya adalah pesantren merupakan suatu
tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama, sejak dari
tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut.
Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah,
yang berarti pojok. Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna
sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid
Madinah ketika Nabi Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada
abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan
kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi
hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tengah-tengah
masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan
pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi
pencari kehidupan spiritual. Ini sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran
Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi ini
mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.[6] Di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembelajaranlebih kecil dibandingkan dengan dayah.
Ulama Dayah merupakan suatu
komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka adalah alumni dari dayah.
Oleh karena itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan dengan
orang yang menuntut ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, seperti
lulusan madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar di tempat
kecuali dayah dan mampu menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai “ulama modern”, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.[7]
Di samping pengajaran dayah,
Meunasah juga dipakai sebagai tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama oleh
masyarakat Aceh. Namun perbedaan antara kedua istilah ini; dayah adalah
tempat belajar agama bagi orang-orang yang telah dewasa. Sementara
pendidikan agama untuk anak-anak diberikan di Meunasah atau di
rumah-rumah guru (Teungku).[8]
Ditinjau dari sarana,
pendidikan agama tingkat rendah yang diberikan kepada anak-anak ini
dapat dibagi dua bagian. Yang pertama pendidikan agama untuk anak
laki-laki yang mengambil tempat di Meunasah dan pendidikan agama untuk
anak perempuan di rumah-rumah guru atau tempat khusus. Meskipun demikian
materi dan tujuannya sama.
Setelah anak-anak tamat
belajar al-Quran dan telah mampu melaksanakan ibadah wajib, maka tugas
terakhir dari pendidikan Meunasah atau rumah adalah mempelajari kitab
agama yang ditulis dalam bahasa Arab-Jawi (Melayu) seperti Masailal Muhtadi. Tujuan ini memberi bekal bagi anak-anak yang akan melanjutkan studi lebih lanjut di dayah.
Secara khusus, pendidikan dayah terkenal dengan istilah meuranto atau meudagang. Bagi anak-anak Aceh yang mempunyai minat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama lebih mendalam dapat dilakukan dengan cara meuranto atau meudagang ke
berbagai dayah terkenal. Hal ini dilakukan setelah dia mampu mampu
membaca al-Quran dan memahami cara-cara melakukan ibadah ketika dia
belajar di Meunasah atau di rumah-rumah teungku. Dengan demikian fungsi
Meunasah dan dayah akan sangat bernilai bagi masyarakat Aceh ketika
dihubungkan dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.
C. Eksistensi Dayah di Aceh
Realitas sejarah mengungkapkan bahwa lembaga dayah mempunyai empat kegunaan yang sangat signifikan bagi masyarakat Aceh, yaitu sebagai pusat belajar agama (the central of religious learning), sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah, sebagai agen pembangunan, dan sebagai sekolah bagi masyarakat.[9]
- Sebagai pusat belajar agama. (the central of religious learning)
Pada abad ke-17 M, Aceh telah menjadi
pusat kegiatan intelektual. Banyak sarjana dari negara lain
berbondong-bondong datang untuk balajar ke Aceh. Seorang ulama terkenal
syekh Muhammad Yusuf al Makkasari (1626 – 1699 M.), salah seorang ulama
termasyhur diwaktunya di kepulauan Melayu pernah belajar di Aceh. Salah
satu tarekat yang pernah dipelajarinya di Aceh adalah tarekat al-Qadiriyah.
Syekh Burhanuddin dari Minangkabau, yang kemudian menjadi ulama
terkenal dan menyebarkan agama Islam Ulakan mendirikan surau di
Minangkabau, juga pernah belajar di Aceh bawah bimbingan Syekh Abdul Ra’uf Al Singkily.
Atensi ulama dayah terhadap
ilmu-ilmu agama tidaklah pupus, walau kondisi ekonomi dan politik era
kesultanan Aceh mengalami masa kemunduran. Sebelum kedatangan Belanda, dayah-dayah
di Aceh sering dikunjungi oleh masyarakat luar Aceh. Dari sejak Hamzah
Fansuri sampai datangnya Belanda, ada 13 ulama dayah yang menulis kitab;
karya yang ditulis jumlahnya 114 kitab.[10]
Kitab-kitab tersebut terdiri dari berbagai subjek, seperti tasawuf,
kalam, logika, filsafat, fiqh, hadist, tafsir, akhlaq, sejarah, tauhid,
astronomi, obat-obatan, dan masalah lingkungan. Bahkan menurut al-Attas,
bahasa Melayu juga dikembangkan pada abad-abad tersebut. Hamzah Fansuri
(1510 – 1580 M.) merupakan seorang pioner dalam perkembangan bahasa ini
secara rasional dan sistematis serta dia sendiri menggunakannya dalam
bidang filsafat.[11]
Dan banyak karya-karya besar lainnya yang mengidentifikasikan bahwa
Aceh pernah menjadi sebagai pusat kajian keilmiahan yang masyhur melalui
perhatian ulama dayah dengan lembaga dayahnya.
- Sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah.
Ketika perang melawan kolonial Belanda
meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh
melawan tekanan-tekanan penjajah Belanda. Ketika para Sultan dan kaum ulee balang
(kaum ninggrat/bangsawan) tidak sanggup lagi menjalankan roda
pemerintahannya, para tentara menginginkan pemimpin lain untuk
melanjutkan perlawanan dalam rangka mempertahankan tanah air mereka.
Maka saat itu ulama dayah dan dayahnya tampil sebagai benteng pertahanan
yang cukup tangguh dan sulit ditembus oleh lawan.
Ulama dayah yang terkenal
sebagai komandan perang antara lain Tgk. Abdul Wahab Tanoh Abee, Tgk.
Chik Kuta Karang dan Tgk. Muhammad Saman (selanjutnya dikenal dengan
Tgk. Chik di Tiro). Kontribusi mereka bagi tanah Aceh dalam menghadapi
penetrasi penjajah sangat besar dan perlu dikenang oleh generasi
selanjutnya, bahwa mereka adalah aneuk dayah yang menjelma menjadi panglima perang.
- Sebagai Agen Pembangunan.
Dalam beberapa waktu, beberapa lulusan
dayah ada yang menjadi pemimpin formal yang duduk di kursi
pemerintahan, di lain pihak ada juga yang menjadi pemimpin informal.
Biasanya mereka aktif dalam pembangunan masyarakat. Tradisi ini
berlangsung sampai saat ini, meskipun alumni sekolah lain seperti
madrasah dan sekolah umum juga ikut berperan dalam membangun kehidupan
masyarakat. Sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang
tamat dari dayah turut aktif dalam bidang ekonomi, khusunya bidang
pertanian, sebagai contoh, Tgk. Chik di Pasi memimpin masyarakat
membangun irigasi, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik di Bambi dan
Tgk. Chik di Rebee.[12]
Lulusan dayah telah menunjukkan
bahwa mereka memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat dan
berbagai kepentingan. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa selama meudagang
di dayah, mereka melewati pengalaman baru yang berbeda dengan
pengalaman mereka ketika berada di kampung halaman. Jadi, lulusan dayah
memiliki dua latar belakang kultur yang berbeda, di satu pihak realitas
sosial yang mereka temui ketika berada di kampung dan di pihak lain
sesuatu yang baru yang mereka pelajari di dayah. Dengan demikian mereka
menemukan bagaimana konsep yang ideal dam membimbing masyarakat kala
mereka terjun di kancah kemasyarakatan nantinya.
- Sebagai Sekolah Bagi Masyarakat
Belajar di dayah tidak membutuhkan dana
yang banyak. Inilah yang menjadi faktor aternatif bagi masyarakat yang
secara ekonomi tidak mampu. Rakyat bisa belajar di dayah meskipun miskin. Umumnya, dayah-dayah
tidak membebankan murid-muridnya untuk membayar uang pendidikan. Bagi
murid yang fakir miskin dayah dengan sendirinya menyediakan makanan,
yang diberikan oleh teungku (pimpinan dayah) atau dari masyarakat yang selalu siap membantu.
Tidak seperti halnya dayah,
sekolah meskipun bukan sekolah dasar dan madrasah mewajibkan murid-murid
untuk membayar uang pendidikan. Sekolah-sekolah juga mewajibkan
muridnya untuk memakai pakaian seragam, hal mana menjadi berat bagi
murid dari kalangan fakir miskin. Karena banyak tuntutan pengeluaran
uang, bagi masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa mereka memilih
dayah sebagai tempat belajar. Lebih dari itu, sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, belajar di dayah sangatlah komprehensif ketimbang
belajar di tempat lain; karena dayah tidak hanya menawarkan
materi agama Islam tetapi juga bimbingan spiritual dan latihan fisik.
Sebagai guru, teungku bukan hanya bertanggungjawab dalam hal mengajar,
namun juga berfungsi sebagai penasehat, pembimbing, pelatih dan
penolong. Hubungan antara murid dan guru lebih pada hubungan personal
ketimbang hubungan birokrasi.
Meunasah berbeda dengan dayah dalam melaksanakan sistem pendidikan. Ismuha mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah
yang ada di setiap desa (gampong) di seluruh Aceh, sejak zaman kerajaan
Aceh, digunakan sebagai tempat belajar agama, mengaji, sebagai tempat
shalat lima waktu, tempat musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan sebagai tempat untuk berbagai
kegiatan sosial dan keagamaan lainnya.[13] Untuk memperoleh pendidikan di dayah mengharuskan seorang santri meninggalkan gampong halaman (meudagang atau meuranto). Karena tidak semua gampong memiliki dayah tapi memiliki Meunasah. Jadi seseorang yang akan mendalami pengetahuan agama harus meuranto ke gampong lain bahkan ke pelosok-pelosok di seluruh Nusantara. Semakin jauh meuranto mendalami pengetahuan agama semakin dihargai dan semakin besar nilainya di mata masyarakat Aceh.
Kesan lain yang
dapat dirasakan adalah seorang santri yang mengaji di dayah terkenal
seperti dayah Darussalam Labuhan Haji Kab. Aceh Selatan, dayah Budi
Mesja (Bahrul Ulum Diniah Islamiyah Mesjid Janguet) Lamno Kab. Aceh
Jaya, dayah Mudi Mesra (Ma’had Ulum Diniah Islamiyah Mesjid Raya)
Samalanga Kab. Bireuen, dayah Lhok Nibong dan lain sebagainya, sangat
berbeda nilai yang belajar di dayah-dayah lainnya di Aceh. Alasan ini
sangat terkait erat dengan pendiri dayah itu sendiri. Jika dayah seperti
yang disebutkan di atas mayoritas didirikan oleh ulama yang paling
banyak jasa terhadap agama, mempunyai karisma dan karamah. Setiap santri
yang menuntut ilmu di dayah tersebut di samping memperoleh pengetahuan
agama adanya barakah dan memperoleh kekayaan bathin. Perolehan barakah
ini tidak pernah didapatkan jika pendiri dayah tersebut tidak memiliki
karakter wara, ‘alim dan karamah. Demikian juga ilmu yang didapatkan
seorang santri di dayah yang didirikan oleh seorang wara’ walaupun
sedikit perolehan ilmu dianggap telah mendapat keberkahan secara
terus-menerus.
Seorang santri
ketika sudah belajar di dayah diwajibkan mengikuti aturan-aturan dan
kurikulum dayah. Santri dibekali ilmu membaca kitab Arab gundul atau
kitab kuning (klasik). Namun untuk bisa membaca kitab kuning tersebut
sebelumnya harus belajar agama dengan mengaji kitab-kitab Arab-Meulayu
(Jawi) ketika berada di Meunasah-Meunasah. Di samping belajar kitab
santri dituntut mematuhi dan mengikuti segala peraturan yang berlaku
seperti mengharuskan menetap di dayah dalam batas-batas tertentu dan
tidak diperbolehkan pulang ke gampong halaman jika belum mahir membaca
kitab kuning dan memahami hukum-hukum syara’ secara sempurna.
Di dayah santri
dididik hidup mandiri dalam segala aktivitas, termasuk harus masak,
menyuci pakaian, mengisi air kulah dan lain sebagainya. Santri juga
dididik hidup penuh kedisiplinan menjaga waktu shalat berjamaah, waktu
ngaji, jadwal piket pagi, waktu mandi, waktu makan dan lain sebagainya.
Ketentuan-ketentuan di atas harus
dipatuhi oleh setiap santri dayah ketika bercita-cita belajar dan
menjadi alumni dayah yang baik. Untuk itu, setiap santri dituntut
kesabaran dan ketekunan. Tidak sedikit dari santri dayah itu hilang
kesabaran sehingga tidak dapat menyelesaikan pendidikan dayah dengan
baik. Orang-orang yang dipenuhi kesabaran dan ketekunan itulah yang
paling lama menetap di dayah dan biasanya paling banyak mengetahui
tentang dayah dan pengetahuan agama. Dengan demikian untuk mengorbit
seorang ulama melalui dayah itu amatlah berat sekali. Karena di sini,
tidak hanya dituntut mahir dan memiliki kemampuan intelektual yang
handal, tapi juga butuh pada kesabaran dan pengorbanan yang besar.
D. Urgensitas Lembaga Pendidikan Dayah
Kendati Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau di Sumatera Barat serta Pondok
di Malaysia dan Pattani (Thailand), namun lembaga-lembaga pendidikan
ini tidaklah persis sama. Setidaknya bila ditnjau dari segi latar
belakang historisnya. Pesantren sudah ada sebelum Islam tiba di Indonesia.[14] Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki ajar mentransfer ilmunya dan nilai-nilai kepada cantriknya.[15]
Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti seorang yang belajar
agama Islam, demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul
untuk belajar agama Islam.[16] Sedangkan surau
di Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli Minangkabau yang
telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era
Hindu-Budha di Minangkabau, surau mempunyai kedudukan penting dalam
struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat aktifitas
keagamaan. Menurut ketentuan Adat, surau berfungsi sebagai tempat
berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda.[17]
Dengan demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya memiliki latar
belakang historis yang berbeda, namun mempunyai fungsi yang sama.
Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen,
dan kebermaknaan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat
yang berpengetahuan, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang
kesemuanya itu sarat dengan nilai. Sejarah membuktikan bahwa Sultan
pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari
Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu
sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang
dipimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan
Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi
Islam pertama di kepulauan Nusantara.[18]
Pada masa kesultanan Aceh, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, yakni rangkang (junior), balee (senior), dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat rangkang dan balee, sedangkan di tempat lain hanya ditemui tingkat dayah manyang saja.
Meskipun demikian di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan
sekaligus, mulai junior sampai universitas. Sebelum murid belajar di dayah, mereka harus sudah mampu membaca al-Qur’an yang mereka pelajari di rumah atau di meunasah dari seorang teungku. Kepergian untuk menuntut ilmu agama di dayah sering disebut dengan meudagang. Metode mengajar di dayah pada dasarnya dengan halaqah, mëudrah[19] dan metode hafalan. Pada kelas yang lebih tinggi, metode diskusi dan debat (meudeubat) sangat dianjurkan dalam segala aktifitas proses belajar mengajar, dan ruang kelas hampir merupakan sebuah ruang seminar. Para teungku biasanya berfungsi sebagai moderator, yang kadang-kadang juga berperan sebagai pengambil keputusan.[20]
Santri (anëuk dayah) biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim/meudagang. Santri kalong merupakan bagian aneuk dayah
yang tidak menetap dalam pondok, tetap pulang ke rumah masing-masing
setelah belajar. Mereka biasanya berasal dari daerah sekitar dayah tersebut. Sementara santri meudagang adalah putra dan putri yang tinggal menetap dalam dayah dan biasanya berasal dari daerah jauh.[21]
Sistem pendidikan yang dikembangkan di dayah atau rangkang tidak berbeda dengan apa yang dikembang di pesantren-pesantren di Jawa atau surau-surau di Sumatera Barat, yakni bisa ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
- Ditinjau dari segi materi pelajarannya, yang diajarkan adalah mata pelajaran agama semata-mata yang bertitik tolak kepada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana (kitab jawoë/kitab arab melayu) kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, tingkatan suatu dayah dapat diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[22] Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab-kitab Islam klasik yang di ajarkan di dayah, yakni 1). nahwu dan saraf (morfologi), 2). Fiqh (yang dipelajari diantaranya kitab al-bajuri, al-mahalli, nihaya al-muhtaj dan al-fiqh ‘ala al-madhahib al-arba’ah), 3). Ushul fiqh, 4). Hadist, 5). Tafsir, 6). Tauhid, 7). tasawuf dan etika (kitab ihya ulumuddin), dan 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[23] Tinggi rendahnya ilmu seseorang diukur dari kitab yang dipelajarinya.
- Ditinjau dari segi metodenya adalah hafalan, meudrah dan muedeubat. Dalam tradisi pesantren di Jawa sering disebut sorogan dan wetonan.
- Ditinjau dari segi sistem pembelajaran adalah non-klasikal. Yakni santri (aneuk dayah) tidak dibagi berdasarkan tingkatan kelas, tetapi berdasarkan kitab yang dipelajarinya.
- Ditinjau dari segi manajemen pendidikan, maka di lembaga pendidikan ini tidak mengenal nomor induk pelajar, ada rapor, ada sertifikat dan lain sebagainya.[24]
Kebiasaan orang Aceh, belajar di dayah, atau sering disebut meudagang, biasanya membutuhkan waktu yang tak terbatas. Artinya seorang murid datang dan meninggalkan dayah kapan ia suka. Beberapa anëuk dayah (santri) belajar di beberapa dayah, berpindah dari satu dayah ke dayah
lainnya, setelah belajar beberapa tahun. Jumlah tahun yang dihabiskan
oleh seorang murid tergantung pada ketekunannya atau pengakuan guru
bahwa murid itu telah selesai dalam studinya. Kadang-kadang murid
tersebut ingin melanjutkan studinya di dayah sampai ia sanggup mendirikan dayahnya
sendiri. Dalam kaitan ini, tidak ada penghargaan secara diploma. Karena
itu, setelah belajar dan mendapat pengakuan dari teungku chik (abu
pimpinan dayah) mereka terjun ke dunia masyarakat dan bekerja sebagai teungku di meunasah-meunasah, menjadi da’i atau imam-imam di mesjid-mesjid.[25]
E. Penutup.
Dayah
dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana strategis dalam proses
transmisi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Selain itu fungsi dayah juga sebagai institusi yang selalu memberikan respons terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat. Ulama dayah harus selalu siap menjadi pengawal bagi terciptanya komunitas intelektual di negeri SëuramoeMéukkah.
Di Aceh, ulama dan dayah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dayah sudah menghasilkan berbagai lulusan agama semenjak pertama kali masyarakat muslim terbentuk di sana. Ulama dayah
selalu merespons semua permasalahan yang terjadi di Aceh untuk
membimbing masyarakat yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Konsistensi komitmen mereka kepada Aceh dan masyarakat telah membawa
mereka menjadi kelompok yang dihormati di Aceh.
Dari sudut historis kultural, dayah di
Aceh sebagai pusat pelatihan yang secara otomatis menjadi pusat budaya
Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat di Aceh.
Substansinya, Dayah-dayah yang ada di Aceh dapat dikatakan sebagai
“bapak” dari pendidikan Islam yang didirikan berdasarkan tuntutan dan
kebutuhan zaman, yang mana dayah dilahirkan atas kesadaran kewajiban
Islamiah, yaitu menyebarkan dan mengembangkan agama Islam, sekaligus
mencetak kader-kader ulama dan da’i.
DAFTAR PUSTAKA
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. 3, Jakarta: Kalimah, 2001.
Baihaqin A.K, “Ulama dan Madrasah di Aceh.” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial, akarta: Rajawali, 1983.
Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam Di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001.
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2004.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Ismuha,”Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah.” Dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: Raja grafindo Persada, 1996.
M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003.
Rusdi Sufi, Pandangan dan Sikap Ulama di Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: LIPI, 1987.
Syed M. Naquib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudyaan Melayu, Bandung: Mizan, 1990.
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985.
[1]M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. 1.
[2]M. Hasbi Amiruddin, “Ulama Dayah: Peran dan Responnya terhadap Pembaruan Hukum Islam,” dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. h. 36 – 37.
[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), h. 15.
[4]Sebelum tengku Muhammad Amin Syah Johan dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Peurlak yang ke-6.
[5]Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (tp: 1350 H), h. 272.
[6]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 33.
[7]Amiruddin, “Ulama Dayah..., h. 119.
[8]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 192.
[9]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 42.
[10]Alyasa’ Abu Bakar dan Wamad Abdullah, “Manuskrip Dayah Tanoh Abee, kajian keislaman di Aceh pada masa kesultanan,” dalam Kajian Islam, No. 2. h. 35.
[11]Syed M. Naquib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudyaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990), h. 68.
[12]Baihaqin A.K, “Ulama dan Madrasah di Aceh.” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 117.
[13]Ismuha,”Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah.” Dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Raja grafindo Persada, 1996), h. 7.
[14]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 34.
[15]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2004), h. 125-126.
[16]Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 7.
[17]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. 3 (Jakarta: Kalimah, 2001), h. 118.
[18]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 36 – 37.
[19]Mëudrah adalah suatu metode dimana murid datang satu per satu kepada seorang teungku rangkang/dayah dengan kitabnya atau copy teks (kurah)
yang sedang mereka pelajari, kemudian teungku membaca teks, memberikan
komentar dan catatan dalam bacaannya tersebut, lalu meminta murid untuk
membaca kembali teks yang telah ia bacakan.
[20]Rusdi Sufi, Pandangan dan Sikap Ulama di Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: LIPI, 1987), h. 29.
[21]Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 52.
[22]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 144.
[23]Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 51.
[24]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 128.
[25]Mengajar di suatu meunasah dan menjadi imam shalat adalah pekerjaan suka rela. Dalam hal ini teungku
tidak dibayar kecuali dari sedekah. penghasilan mereka sebagai guru
tersebut didapatkan dari profesi sebagai pedagang atau petani; meski
beberapa ulama yang memimpin dayah juga bekerja sebagai petani, tukang
kayu, servis mekanik, dsb.